Urgensi RUU Perubahan UU No.2/2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Oleh Adhi Darmawan
(Sekjend Dewan Pengurus Nasional Serikat Buruh Nasional Indonesia)

ASPATAKI CHANEEL (SENAYAN) Revisi Undang-Undang (RUU) sebagai perubahan atas UU No.2/2004 tentang Penyelesaikan Perselisihan Hubungan Industrial diputuskan masuk dalam pembahasan program legislasi nasional (prolegnas) 2020-2024. Latar belakang dirumuskannya RUU tersebut karena UU No.2/2004 dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan hubungan industrial saat ini.
Pasal-pasal yang akan direvisi nantinya akan dilebur dalam omnibus law atau UU Cipta Lapangan Kerja. Revisi perlu segera dilakukan mengingat penyelesaian perselisihan hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja sangat diperlukan demi terciptanya hubungan industrial yang harmonis dan kondusif antara kedua belah pihak.
Dalam sebuah perusahaan, baik pengusaha maupun pekerja, pada dasarnya memiliki kepentingan atas kelangsungan usaha dan keberhasilan perusahaan. Keduanya memiliki kepentingan terhadap keberhasilan perusahaan, sekalipun tidak dapat dipungkiri masih sering terjadi konflik/perselisihan diantara mereka. Dalam menjalankan kelangsungan usaha, antara pengusaha dan pekerja saling terkait satu dengan lainnya dalam hubungan industrial.
Menurut UU No.13/2003 tentang ketenagakerjaan pasal 1 angka 16, Hubungan Industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai nilai Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Dapat diartikan jika hubungan industrial merupakan hubungan antara semua pihak yang terkait atau berkepentingan atas proses produksi atau pelayanan jasa di suatu perusahaan.
Hubungan industrial tersebut harus dicipatkan sedemikian rupa agar aman, harmonis, serasi dan sejalan, agar perusahaan dapat terus meningkatkan produktivitasnya untuk meningkatkan kesejahteraan semua pihak yang terkait atau berkepentingan terhadap perusahaan tersebut.
Pada UU No. 2/2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial, disebutkan jika perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara Pengusaha atau gabungan Pengusaha dengan Pekerja/Buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat Buruh dalam satu perusahaan. Perselisihan bisa diselesaikan dengan perundingan. Disebutkan jika perundingan bipartit adalah perundingan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja/serikat buruh atau antara serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang lain dalam satu perusahaan yang berselisih.
Perundingan Bipartit adalah perundingan secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila perundingan bipartit mencapai kesepakatan maka para pihak wajib membuat Perjanjian Bersama dan didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial.
Urgensitas Revisi
Perselisihan hubungan industrial diharapkan dapat diselesaikan melalui perundingan bipartit. Penyelesaian melalui perundingan bipartit harus diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak perundingan dilaksanakan.
Jika perundingan bipartit gagal, maka penyelesaian dilakukan melalui mekanisme mediasi atau konsiliasi. Pada proses ini mediasi dibantu oleh seorang mediator hubungan industrial, yang merupakan pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja.
Dikenal juga istilah penyelesaian dengan konsiliasi yang dilakukan melalui seorang atau beberapa orang, atau badan yang disebut sebagai konsiliator yang wilayah kerjanya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja, di mana konsiliator tersebut akan menengahi pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihannya secara damai.
Jenis Perselisihan yang dapat diselesaikan melalui konsiliasi antara lain untuk perselisihan kepentingan, perselisihan PHK atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Bila mediasi dan konsiliasi gagal, maka perselisihan hubungan industrial dapat dimintakan untuk diselesaikan di Pengadilan Hubungan Industrial.
Menurut pasal 56 UU No.2/2004, Pengadilan Hubungan Industrial mempunyai kompetensi absolut untuk memeriksa dan memutus ditingkat pertama mengenai perselisihan hak, ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan, di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja, ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Dalam UU No.2/2004, disebutkan juga jika upaya hukum kasasi harus dilakukan oleh hakim kasasi. Dalam pasal 113 disebutkan, Majelis Hakim Kasasi terdiri atas satu orang Hakim Agung dan dua Hakim Ad-Hoc yang ditugasi memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hubungan industrial pada Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung.
Beberapa poin yang akan dibenahi dalam revisi UU No. 2/2004 berkaitan dengan upaya hukum kasasi. Upaya hukum kasasi dilihat seharusnya ditiadakan agar penyelesaian masalah hubungan industrial cepat selesai. Dalam hal ini ada alternatif penyelesaian diluar pengadilan. Artinya, bisa memilih ke PHI atau ke mediasi.
Pertimbangan utama yang harus dilakukan dalam revisi UU nomor 2/2004 adalah penguatan bipartit dan mediasi. Selama ini proses bipartit dan mediasi tidak berkualitas dan memakan waktu yang cukup lama, sehingga persoalan revisi ini harus memperkuat proses mediasi dan bipartit. Pengadilan Hubungan Industrial juga diusahakan agar prosesnya tidak lama, lebih cepat dari sebelumnya. Pada titik ini harus ada hukum acara tersendiri.
Bipartit juga harus diperkuat dengan mendatangkan pihak luar yang bersifat independen untuk memberi masukan ketika ada sengketa antara pekerja dan pengusaha. Untuk mediasi, pihak mediator harus berkualitas. Dalam hal ini, mediator harus memiliki acuan yang jelas untuk meyakinkan kedua belah pihak sehingga kasus-kasus yang ditangani cepat selesai.
Revisi UU No.2/2004 diharapkan sebagai upaya konstruktif untuk menguatkan proses preventif/pencegahan dari adanya perselisihan. (KP02)


Berita sebelumnya diterbitkan oleh kabarprioritas.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel