MORATORIUM SKEMA KERJASAMA MAGANG KE JEPANG

  • Join Zoom Meeting HRWG dengan Kemnaker (Direktur PPTKLN & Direktur Pemagangan, dua dari BP2MI, 2 ex Pemagangan Jepang, dua Peneliti, dua LPK dan Aspataki Pada Hari ini 20 Mei 2020 waktu pukul 14.00 sd 16.00.
  • Demikian release dari HRWB kepada media yang diterima aspatakichannel, (media internal Anggota Aspataki)

JAKARTA (AC) - Human Rights Working Group (HRWG) mendesak pemerintah
RI untuk melakukan moratorium kerjasama dalam skema magang, khususnya private-to-
private dalam Technical Intern Training Program (TITP) dengan pemerintah dan aktor swasta di Jepang.


Hal itu mengingat, maraknya praktik perekrutan tidak adil (unfair recruitment) yang ditandai dengan penarikan biaya berlebih hingga eksploitasi tanpa pengawasan dan penindakan yang tegas dari pemerintah terhadap pelaku-pelakunya
saat proses pra-keberangkatan terhadap para calon pemagang.
Praktik ini terjadi saat perekrutan, pelatihan, persiapan dan pemberangkatan yang dilakukan umumnya oleh aktor swasta yang memiliki izin dari pemerintah.
Sementara, dugaan praktik korup untuk mendapat kursi pemagang di Jepang dalam skema magang
government-to-government juga menguat.
Praktik merugikan ini bukan tanpa alasan, mengingat selama ini pemerintah tidak menetapkan struktur biaya penempatan. Selain
itu, skema ini hanya diatur melalui Permenaker No. 8/2008 tentang Tata Cara Perizinan dan Penyelenggaraan Pemagangan di Luar Negeri dan para pemagang dikeluarkan dari skema perlindungan yang diatur dalam Pasal 4 (b) UU No. 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran.
HRWG mengakui kontribusi positif ekonomi atas kerjasama ini.
Meski demikian, maraknya praktik eksploitasi dan pelanggaran HAM harus dihentikan. Dalam skema ini, kami menemukan banyak calon pemagang harus merogoh saku antara Rp. 30 sampai Rp. 80 juta. Alih-alih ingin meningkatkan keterampilan dan pengetahuan serta memperbaiki nasib dengan magang ke Jepang, sebelum mereka berangkat, mereka bahkan sudah terlilit hutang.
Seruan moratorium ini, berkebalikan dengan upaya pemerintah (Menteri
Ketenagakerjaan) yang justru ingin menambah kuota para pemagang ke Jepang.
  • Moratorium adalah salah satu rekomendasi hasil kajian HRWG setelah mendengarkan pengakuan dari para mantan pemagang dan penelitian lanjutan yang dituangkan dalam buku “Shifting the Paradigm of Indonesia-Japan Labour Migration Cooperation” yang diluncurkan HRWG hari ini.
Studi menemukan beberapa pola dari model kerjasama ketenagakerjaan dengan Jepang, baik dalam skema magang maupun skema di bawah Economic Partnership Program (EPA) untuk pekerja perawat lansia (caregiver), di antaranya;


1) Model kerjasama ini lebih memfasilitasi kepentingan nasional Jepang yang sedang mengalami krisis demografi akibat penuaan penduduk dan rendahnya angka kelahiran yang mengakibatkan kelangkaan pekerja, khususnya untuk bidang-bidang yang monoton, memerlukan tenaga manual, berbahaya, dan berpenghasilan rendah;

2) Semakin pemerintah ikut campur dalam persiapan pra-keberangkatan, kasus-kasus eksploitasi cenderung lebih minimal, khususnya dalam skema EPA.

Meskidemikian, bukan berarti skema EPA tanpa masalah. Pasca penempatan, para pekerja perawat diabaikan hak reintegrasinya sehingga mengalami kesulitan melanjutkan dan mengembangkan profesinya sebagai perawat;
3) Kealpaan dalam menyediakan payung hukum, mekanisme pengawasan dan perlindungan, menyebabkan maraknya kasus eksploitasi dan pelanggaran hak
dalam proses dan praktik perekrutan, pelatihan, dan penempatan yang tidak etis dan aman.

Studi menyimpulkan, dengan meneruskan kerjasama ini sama halnya pemerintah memfasilitasi eksploitasi para calon pekerja. Pemerintah Indonesia harus mengubah paradigma lama, yaitu mengirim buruh murah sebanyak-banyaknya dan tutup mata atas praktek eksploitasi, menjadi paradigma yang mengedepankan perlindungan sebagai dasar kerjasamanya seperti semangat UU PPMI.
Selain moratorium, rekomendasi lain adalah melakukan renegosiasi bilateral sembari memperbaiki payung hukum perlindungan dan efektivitas pengawasannya.

Pemerintah juga seharusnya menetapkan struktur pembiayaan yang jelas. Pemerintah Indonesia juga
didorong untuk mendisiplinkan aktor-aktor swasta yang selama ini melakukan praktik tidak etis.

Pemerintah Indonesia didorong untuk meninjau kebijakan syarat
pembaharuan Surat Tanda Registrasi yang jadi kendala besar bagi mantan pekerja perawat Indonesia untuk kembali berprofesi sebagai perawat di Indonesia.
Terakhir, pemerintah dituntut untuk mendesain ulang program reintegrasi yang disesuaikan dengan karakter dan kebutuhan dalam negeri.

Setahun lalu, Pemerintah Jepang merevisi Undang-undang Keimigrasian pada April 2019 dengan tujuan menjaring 340.000 pekerja asing kategori Specified Skilled Workers dari
beberapa negara di Asia, termasuk Indonesia.
Skema baru ini sayangnya tidak diikuti
oleh penghapusan beberapa skema penempatan tenaga kerja asing yang telah berlaku sebelumnya, yaitu TITP dan EPA.
Menurut data Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang, pada 21 Januari 2020, terdapat 51.337 orang Indonesia bekerja di Jepang dan lebih separuhnya
masuk dalam kategori skema magang.

Daniel Awigra, Deputi Direktur HRWG

Release asli dari HRWG

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel