Kemnaker: 6 Perusahaan Penempatan Pekerja Migran ke Taiwan Abai Protokol Kesehatan
Aspatakichannel.com - Kementerian Ketenagakerjaan menemukan enam perusahaan penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Taiwan tidak mematuhi protokol kesehatan. Akibatnya sebanyak total 85 PMI dinyatakan positif COVID-19 ketika tiba di Taiwan. Padahal, sebelum berangkat mereka dinyatakan negatif COVID-19.
Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri, Kementerian Ketenagakerjaan Eva Trisiana mengatakan perusahaan hanya meminta kepada calon PMI untuk melakukan rapid test. Hal itu jelas bertentangan dengan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan nomor 294 tahun 2020 yang meminta agar semua calon PMI menjalani tes usap. Hasil rapid test antibodi terbukti kerap menunjukkan false negative.
"P3MI (Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia) juga tidak memisahkan PMI yang sudah menjalani tes PCR dengan yang belum. Jangan dicampur lagi, karena itu kan bisa terkontaminsasi lagi," ungkap Eva ketika dihubungi olehmelalui telepon pada Sabtu (19/12/2020).
Selain itu, ditemukan pula calon PMI melakukan tes usap di fasilitas kesehatan yang bukan masuk ke dalam daftar rekomendasi Kementerian Kesehatan. "Jadi, memang ada kekeliruan di pihak P3MI," tutur dia.
Eva menjelaskan sudah ada tindakan yang diambil terhadap enam perusahaan yang melakukan pelanggaran tersebut. Namun, tindakan tersebut sebatas melayangkan surat peringatan.
Di sisi lain, Pemerintah Taiwan secara terbuka mengatakan ke publik bahwa mereka meragukan kualitas tes usap di Indonesia. Mereka pun juga khawatir terhadap perkembangan pandemik COVID-19 di tanah air yang tidak semakin terkendali.
Apa yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk memulihkan rasa percaya Taiwan dan membuka pintunya bagi PMI?
1. Kemnaker ancam enam perusahaan dikenai sanksi lebih berat bila tak segera benahi prosedur pemberangkatan
Ilustrasi seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI mengikuti Rapid Test COVID-19 (ANTARA FOTO/Septianda Perdana)
Eva mendesak agar enam perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran agar segera membenahi prosedur sebelum keberangkatan. Kemnaker memberikan tenggat waktu selama satu bulan ke depan. Bila tidak maka enam perusahaan tersebut akan dikenai sanksi lebih berat.
"Kalau dalam satu bulan mereka tidak memenuhi (standar pengiriman PMI sesuai Peraturan Menteri Tenaga Kerja), maka kami akan menjatuhkan sanksi berikutnya yaitu skorsing yang paling lama berlaku tiga bulan," tutur dia.
Bila sudah diberikan peringatan tapi perusahaan penyalur itu tak juga memenuhi ketentuan, maka Kemnaker akan mencabut izin usaha perusahaan tersebut. Ketentuan yang dimaksud yakni tes usap dilakukan di fasilitas kesehatan yang sudah ditunjuk oleh Kemenkes dan ada pemisahan bagi PMI yang sudah menjalani tes tersebut.
2. Kemnaker akui larangan masuk PMI ke Taiwan coreng citra Indonesia
Ilustrasi Suasana Taipei, Taiwan (IDN Times/Vanny El-Rahman)
Eva menjelaskan pada 17 Desember 2020 lalu, sudah ada pertemuan bilateral antara Badan Pelindungan Pekerja Migran (BP2MI), Kementerian Ketenagakerjaan dengan kantor perwakilan Taiwan di Jakarta, TETO. Dalam pertemuan itu, Pemerintah Indonesia menyerahkan hasil investigasi mereka terhadap 14 perusahaan penyalur PMI yang tidak diizinkan mengirimkan pekerja migran ke Taiwan.
"Kami juga menginginkan agar pekerja migran ini begitu tiba di Taiwan langsung dilakukan tes usap. Jadi, tes usap jangan dilakukan setelah mereka menjalani karantina mandiri selama 14 hari. Kan jadinya fair bisa ketahuan (tertular atau tidaknya)," kata Eva.
Kemnaker berharap bisa segera kembali bertemu dengan perwakilan TETO pada tahun ini. "Kami akan mendesak untuk bisa bertemu dengan mereka. Kan karena permasalahan ini, image Indonesia jadi gak bagus (di mata internasional)," tutur dia lagi.
3. PMI jadi terkena stigma negatif sebagai pembawa penyakit COVID-19 ke Taiwan
Ilustrasi petugas medis yang menangani COVID-19 (ANTARA FOTO/Basri Marzuki)
Ketua Keluarga Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi), Iweng Karsiwen mengatakan ada beban lain yang dirasakan oleh PMI yang saat ini berada di Taiwan. Mereka kini terkena stigma negatif sebagai pembawa masuk COVID-19 ke Taiwan.
"Teman-teman pekerja migran akhirnya ada yang mengalami diskriminasi dan bahkan ada yang dicemooh langsung oleh warga lokal," kata Iweng ketika dihubungi olehpada hari ini.
Ia berharap agar Pemerintah Indonesia bisa menuntaskan permasalahan ini dengan otoritas Taiwan. Sebab, selama Taiwan menutup pintu bagi PMI, mereka juga lah yang dirugikan.
Iweng menyebut banyak dari rekan-rekannya yang sudah membayar puluhan juta agar bisa dikirim bekerja di Taiwan dan negara lainnya. Sebagian bahkan ditempuh dengan cara berutang. Harapannya bisa membayar setelah bekerja di Taiwan.
"Tapi, ini kan malah ditutup (akses ke Taiwan). Sementara, mereka butuh penghasilan untuk bisa membayar utang itu," katanya lagi.
Saiful Ketum Aspataki menyampaikan andaikan sejak awal pemerintah mengambil peran besar dengan menggatiskan Swab/PCR pada rumah sakit yang ditunjuk Pemerintah adakah kasus ini tetap terjadi ? Siapa yang berani menjamin?
Semoga segera dapat diselesaikan persoalan ini kasihan para calon PMI nya, kanya Saiful.
Sumber : IDNTimes