Maxixe : Xie-Xie Gus Dur

Ditulis oleh : Maxixe Mantofa

Aspatakichannel.com - ewaktu berjalan menuju ke gate 26 di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, saya memikirkan tentang hari Imlek yang akan dirayakan oleh pribumi Tionghoa tiga hari lagi.  Hal yang terlihat sepele ini, adalah hal yang tidak pernah secara resmi dapat dilakukan di Tanah Air tercinta sewaktu saya masih kecil.  

Bagaimana pribumi Tionghoa Indonesia masih mengadakan reuni makan malam dengan keluarga pada malam terakhir menyambut hari-H datangnya Imlek.  Barongsai yang ada di pertokoan-pertokoan dengan semaraknya dimainkan oleh berbagai macam suku bangsa Indonesia di balik topeng yang sering kali menakutkan anak-anak kecil.  Berpakaian dengan corak warna merah pada hari Imlek, kehadiran para cucu dan cicit serta anak-anak dan para menantu ke rumah orang tua untuk “Bai Nian” yang adalah simbol hormat dan cinta kepada orang yang lebih tua, balasan “angpauw” dari keluarga yang lebih sepuh untuk generasi muda yang belum menikah sebagai pengutaraan kasih, lampion-lampion dan asesori Imlek yang ada dimana-mana menambah ramainya suasana “Xin Jia” di Indonesia.  Semua kesemarakan ini tidak dapat secara terang-terangan terasakan di tempat-tempat umum dua puluh tahun yang lalu, namun hanya sebatas perayaan yang tidak resmi dilakukan di kelenteng-kelenteng saja.  

Semua ini karena jasa salah seorang anak bangsa terbaik yang pernah ada di Republik Indonesia, yang juga memiliki darah keturunan pribumi Tionghoa, Gus Dur.  Walau mata jasmaninya tidak terlihat, namun mata nuraninya lebih terang dan melek dibandingkan dengan banyak petinggi lainnya sejak Orde Baru, hingga masa Ke-Presidenan beliau yang relatif pendek namun sangat bermakna.  Teringat sewaktu saya menemani salah seorang petinggi Malaysia, Dato Seri Anwar Ibrahim, ke Tebuireng di Jombang tepat pada 40 hari kepergian beliau, begitu banyaknya warga yang berasal dari manapun dan suku apapun yang duduk dan mendoakan ketenangan arwahnya serta kedamaian untuk keluarganya, menunjukkan betapa beliau dicintai oleh semua, dan ungkapan cinta serta kekaguman itu tertulis jelas di batu nisan beliau.

Perayaan Imlek bagi pribumi Tionghoa bukanlah suatu perayaan supremasi dibandingkan dengan perayaan-perayaan yang ada lainnya di Indonesia.  Pribumi Tionghoa dari berbagai macam suku, golongan dan agama, merayakannya hanya untuk meneruskan tradisi yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu dan turun temurun hingga sekarang sembari menunjukkan status Tionghoa sebagai salah satu suku pribumi di negara ini yang secara resmi diakui eksistensinya.  Kita adalah Indonesia dan Indonesia adalah kita.  

Rasanya tidak akan cukup untuk menulis kekaguman atas kebaikan dan jasa Gus Dur untuk suku pribumi Tionghoa Indonesia dalam perjalanan singkat Jakarta-Surabaya di dalam GA-328 ini.  Namun rasa terima kasih seluruh Tionghoa Indonesia kepada beliau yang telah dengan berani mengembalikan hak-hak tradisi suku kami, menjadikannya hadiah “angpauw” terbaik kepada pribumi Tionghoa selamanya. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, demikian pula saya melihat kebaikan nurani Gus Dur ada pada putri-putrinya.  Semoga kau tenang dan damai di sana Gus, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memelihara anak cucu keturunanmu selalu, dimana masih ada langit dan bumi masih ada pula generasi keturunanmu.

Dengan lega tiga hari lagi kami dapat mengucapkan “Gong Xi Fa Chai” kepada sesama suku Tionghoa yang ada, dan “Xie-Xie” kepada suku, agama dan golongan lainnya se-Bangsa dan se-Tanah-Air karena sudah menerima kita sebagai saudaramu seperti Gus Dur juga telah menerima dan mengakui kami. 

“Aircraft on descend”, pilot telah memberikan aba-aba untuk persiapan mendarat, sekaligus saya harus berhenti untuk menulis tentang jasa Gus Dur namun tidak berhenti mencintainya, walau beliau sudah telah lama tiada.

Gong Xi Fa Chai !

Xie-Xie Gus Dur.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel